PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN
A. Pendahuluan
Beberapa
tahun terakhir ini, di Indonesia, perhatian sebagian warga masyarakat terhadap
kehidupan anak-anak makin meningkat. Hal ini didorong oleh rasa kemanusiaan dan
kondisi anak yang makin terpuruk. Kini, sosok anak-anak di Indonesia tampil
dalam kehidupan yang kian tak menggembirakan. Hal itu tampak dari kian meningkatnya
jumlah anak jalanan.
Kondisi
anak-anak yang kian terpuruk hanya teramati dari tampilan fisiknya saja.
Padahal di balik tampilan fisik itu ada kondisi yang memprihatinkan, bahkan
kadang-kadang lebih dahsyat. Kondisi ini disebabkan oleh makin rumitnya krisis
di Indonesia : krisis ekonomi, hukum, moral, dan berbagai krisis lainnya.
Konvensi
hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child),
sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan,
bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan
perhatian dan perlindungan.
B. Latar
Belakang Anak Jalanan
Berkaitan dengan anak
jalanan, umumnya mereka berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan
ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan
jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang,
sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Mereka itu ada yang
tinggal di kota setempat, di kota lain terdekat, atau di propinsi lain. Ada
anak jalanan yang ibunya tinggal di kota yang berbeda dengan tempat tinggal
ayahnya karena pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan yang masih
tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang
ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya
atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.
C. Kegiatan Anak Jalanan
Menurut M. Ishaq
(2000), ada tiga ketegori kegiatan anak jalanan, yakni : (1) mencari kepuasan;
(2) mengais nafkah; dan (3) tindakan asusila.
Kegiatan anak jalanan
itu erat kaitannya dengan tempat mereka mangkal sehari-hari, yakni di
alun-alun, bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal,
pasar, pertokoan, dan mall.
C. Faktor-faktor
yang Menyebabkan Anak Menjadi Anak Jalanan
Keadaan
kota mengundang maraknya anak jalanan. Kota yang padat penduduknya dan banyak
keluarga bermasalah membuat anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang
pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk
bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup merdeka, atau bahkan
mengakibatkan anak-anak dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh keluarga, teman,
orang lain lebih dewasa.
Di
antara anak-anak jalanan, sebagian ada yang sering berpindah antar kota. Mereka
tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan
kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa
dan membuatnya berperilaku negatif.
Seorang
anak yang terhempas dari keluarganya, lantas menjadi anak jalanan disebabkan
oleh banyak hal. Penganiayaan kepada anak merupakan penyebab utama anak menjadi
anak jalanan. Penganiayaan itu meliputi mental dan fisik mereka. Lain daripada
itu, pada umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat
dan ekonominya lemah.
D.
Pemberdayaan Anak
Jalanan
Masyarakat
yang berdaya adalah mereka yang memperoleh pemahaman dan mampu mengawasi daya-daya
sosial, ekonomi, dan politik sehingga harkat dan martabatnya meningkat.
Lebih
jauh, Kindervatter (1979 : 13) mendefinisikan pemberdayaan atau empowering
sebagai "people gaining an understanding of and control over social,
economic, and/or political forces in order to improve their standing in society".
Anak
jalanan adalah anak yang terkategori tak berdaya. Mereka merupakan korban
berbagai penyimpangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Untuk itu,
mereka perlu diberdayakan melalui demokratisasi, pembangkitan ekonomi
kerakyatan, keadilan dan penegakan hukum, partisipasi politik, serta pendidikan
luar sekolah.
Anak
jalanan, pada hakikatnya, adalah "anak-anak", sama dengan anak-anak
lainnya yang bukan anak jalanan. Mereka membutuhkan pendidikan. Pemenuhan
pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental
mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai
dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan
dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak
membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih,
pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta menjadi kering
tak menarik.
Dalam
mendidik anak, ibu dan ayah harus sepaham. Mereka harus bertindak sebagai
sahabat anak, kompak dengan guru, sabar sebagai benteng perlindungan bagi anak,
menjadi teladan, rajin bercerita, memilihkan mainan, melatih disiplin,
mengajari bekerja, dan meluruskan sifat buruk anaknya (misalnya : berkata
kotor, berkelahi, suka melawan, pelanggaran sengaja, mengamuk, keras kepala,
selalu menolak, penakut, manja, nakal).
Keluarga
yang ideal dan kondusif bagi tumbuh-kembangnya anak, sangat didambakan pula
oleh anak-anak jalanan. Keluarga ideal bagi tumbuh kembang anak itu dapat digambarkan
sebagai berikut :
Pendidikan,
pada prinsipnya, hendaknya mempertahankan anak yang masih sekolah dan mendorong
mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, juga memfasilitasi
anak yang tak lagi bersekolah ke program pendidikan luar sekolah yang setara
dengan sekolah. Program itu antara lain berupa : Kejar Paket A dan Kejar Paket
B yang merupakan program pendidikan setara SD/SLTP dan pelatihan-pelatihan.
Khusus
untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai
adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah
"rumah singgah" dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu :
anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan
orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
Rumah
singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok
dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta
strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative
learning strategy).
Program
pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa : Kejar Usaha;
Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar;
Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga
dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas);
Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi
rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000 : 371).
Materi
pembelajarannya mencakup : agama dan kewarganegaraan; calistung
(membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan
wirausaha.
Prestasi
belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation
berikut : (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan
belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar
dan keberhasilan program.
Hasil
evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan
lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan
secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah
atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan
dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara
berkala : harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.
E. Penutup
Jadi, upaya
pemberdayaan kepada anak-anak jalanan seyogyanya terus digalakkan melalui
berbagai penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah (misalnya : Kejar
Paket A, Kejar Paket B, Kejar Usaha, bimbingan belajar dan ujian persamaan,
pendidikan watak dan agama, pelatihan olahraga dan bermain, sinauwisata,
pelatihan seni dan kreativitas, kampanye, forum berbagi rasa, dan pelatihan
taruna mandiri).
Penyelenggaraan program
tersebut seyogyanya menerapkan partisipasi/kolaborasi maksimal, yaitu
melibatkan berbagai pihak secara lintas sektoral, lintas disiplin ilmu, dan
lintas kawasan dalam kerjasama secara maksimal, baik para akademisi maupun
praktisi.
Anak jalanan masih
berpeluang untuk mengubah nasibnya melalui belajar; karena itu perlu menggali
sumber atau pendukung program. Agar anak-anak jalanan mau mengikuti program,
maka sumber belajar harus bersikap empati dan mampu meyakinkan kepada mereka,
bahwa program pendidikan tersebut benar-benar mendukung pengembangan diri
mereka. Untuk itu, penguasaan terhadap karakteristik dan kebutuhan belajar
anak-anak jalanan akan sangat membantu para sumber belajar untuk bersikap
empati kepada mereka.